Your are here: Home // Jurnalisme Keroncong dari Kota Pahlawan

Jurnalisme Keroncong dari Kota Pahlawan

Apakah Anda ingin mencari tahu apa yang mereka-in-the-tahu harus katakan tentang
? Informasi dalam artikel di bawah ini berasal langsung dari para ahli baik informasi dengan pengetahuan khusus tentang
.

Judul: Suara Surabaya Bukan Radio Penulis: Arifin BH Editor: Zainal Arifin Emka Penerbit: Suara Surabaya Tahun: 2010 Tebal: 447 halaman Peranti teknologi komunikasi massa seringkali disebut, atau mungkin dibesar-besarkan, perannya dalam suatu peristiwa penting dunia. Dalam revolusi di negara-negara Amerika Latin era 1950-an, radio-lah yang dianggap sebagai biang keladi pendongkelan rezim-rezim korup. 

Lalu, dalam Revolusi Perancis selama Mei 1968 dengan tokoh sentralnya Charles de Gaulle, ilmuwan komunikasi massa menyebut momen itu sebagai revolusi televisi.

Dua dasawarsa kemudian, tepatnya menjelang Reformasi Mei 1990 di Indonesia, lagi-lagi teknologi komunikasi massa memperoleh tempat terhormat. Kali ini mediumnya giliran internet.

Propaganda perlawanan dan bacaan-bacan kritis soal rezim Soeharto memang disebarkan lewat Internet, tetapi nyaris mustahil bergaung lebih luas jika tidak ada tangan-tangan yang mencetak materi dari Internet ke atas kertas, kemudian menyebarluaskannya lagi. Maklum, internet belum betul-betul menyebar saat itu.

Jadi, jika ada sebutan soal momentum "revolusi radio" dan "revolusi televisi", semestinya ada pula "revolusi internet". Tetapi kasus di Indonesia menjelang 1998 tentu kurang adequate untuk dicandra sebagai "revolusi internet." Sebabnya itu tadi, masih melibatkan kertas.

Lantas, kapan kiranya terjadi "revolusi internet" yang genuine?

Sebagian ilmuwan komunikasi massa menunjuk pada momentum revolusi rakyat Mesir yang mendongkel kediktatoran Hosni Mubarak tempo hari. Sebagian ilmuwan lain masih di bidang yang sama, lebih spesifik lagi menyebut momentum Mesir itu sebagai Revolusi Facebook.

Sedangkan ilmuwan di luar bidang komunikasi massa, cenderung menganggapnya sebagai sesuatu yang dibesar-besarakan.

Apapun, sesuatu yang nyata dari peran media dalam lintasan sejarah itu adalah sifatnya yang unik; menyediakan diri sebagai abdi publik, bukan terompet bagi rezim sesat. Inilah yang agaknya bisa menjadi kunci kemenangan dari pertarungan antarmedia di zaman digital.

Mengingat kembali radio, bagaimana ia bisa bertahan di zaman yang dikepung oleh hegemoni media berbasis audio visual?

Fenomena Radio Suara Surabaya (SS) 100 FM yang berbasis di Kota Pahlawan itu agaknya bisa menjadi contoh unik. Ketika radio-radio lain terjatuh pada media hiburan belaka (musik dan sandiwara), ia menawarkan sesuatu yang baru. 

Berdiri sejak 11 Juni 1983, bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari total, radio itu masih bertahan hingga kini. Saat pertama kali mengudara, orang-orang terkaget karena ia menyiarkan juga berita, pekerjaan yang telanjur identik milik Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai corong Orde Baru.

Pendirinya, almarhum Soetojo Soekomihardjo, bahkan meningkatkan lagi peran Radio SS sebagai radio berbasis citizen journalism mulai 1994. Disebutkan, hingga tahun 2009, kontributornya mencapai 330.000 orang dan semuanya melaporkan zonder upah. Tapi dari jumlah itu, entah berapa orang yang aktiv kirim laporan.

Setelah Anda mulai bergerak melampaui informasi latar belakang dasar, Anda mulai menyadari bahwa ada lebih banyak
dari Anda mungkin memiliki pikiran pertama.

Bersama koleganya, Errol Jonathan, Soetojo menjadikan SS sebagai radio berpengaruh bukan hanya di Surabaya tetapi juga kota-kota satelitnya. Kisah unik yang sering dipetik adalah ketika terjadi pencurian mobil di Surabaya dan sekitarnya, pencurinya sering tertangkap oleh warga.

Itu bisa terjadi ketika pemilik mobil melaporkan ke Radio SS dan menyebut jenis, warna dan nomor polisi mobilnya dan seterusnya. Bukan sekali dua terjadi pencegatan oleh pendengar lain yang kebetulan menyaksikan mobil curian itu melaju. 

Pengaruh Radio SS bukan cuma itu. Di Surabaya, ada saja perubahan penting yang mula-mula didorong oleh keluhan pendengar, ditindaklanjuti oleh laporan dari reporter SS.

Ini diperkuat oleh keterangan Dr Henri Subiakto, Staf Ahli Bidang Komunikasi dan Media Massa di Kementerian Komunikasi dan Informatika. "Sekarang, tata kota Surabaya itu lebih bagus dibanding Jakarta. Banyak taman yang indah di mana-mana," kata Henri saat diskusi buku Suara Surabaya Bukan Radio di Wisma Antara, Jakarta, pekan lalu.

Henri memang punya kedekatan lama dengan Radio SS. Saat masih aktif sebagai dosen pascasarjana Universitas Airlangga, Henri bersama koleganya juga mendirikan media watch yang disebutnya Lembaga Konsumen Media (LKM).

Ia dan aktivis LKM lainnya biasa siaran mulai 1997-2007 untuk mengritik media apa saja, termasuk SS. "Inilah hebatnya SS, mau mewadahi orang untuk siaran yang mengritiknya," katanya. Tokoh lain yang kerap siaran zaman itu adalah motivator Mario Teguh.

"Selasa malam saya siaran, Mario Teguh Rabu paginya siaran. Bedanya sekarang, dia menanjak, saya terpuruk," kelakar Henri.

Tapi bukan berarti tak ada kritik buat Radio SS. Bambang Sulistomo, arek Suroboyo yang tak lain putra Pahlawan Nasional, Soetomo atau Bung Tomo, mempertanyakan kehati-hatian reportase SS dalam urusan kontrol sosial politik.

Bambang yang juga Staf Ahli Bidang Politik Kebijakan Kesehatan di Departemen Kesehatan itu menyebutkan, kekuasaan yang absen dari kontrol pers akan semakin tidak bagus buat masyarakat.

Menjawab soal ini, Direktur Operasional Errol Jonathan, mengakui soal prinsip kehati-hatian dalam langgam jurnalisme radionya itu. Namun dia melakukannya bukan tanpa alasan.

Setelah Reformasi Mei 1998, ia mengamati beberapa radio di beberapa kota, mulai dari Yogyakarta, Jakarta sampai Bandung, punya banyak sekali pendengar. Itu karena mereka tampil garang, berapi-api.

Namun, radio-radio itu umumnya tak bertahan lama karena tidak menguntungkan dari sisi bisnis. "Pemasang iklan itu butuh citra baik," katanya. Itu sebabnya, Errol mempertahankan gaya jurnalisme radionya yang santun meski tumbuh di tengah masyarakat Surabaya yang dikenal blak-blakan cenderung kasar.

Maka, Radio SS pun bisa selamat dari krisis moneter 1997-1998. Ia sehat secara bisnis. Tarif iklannya diklaim termahal se-Indonesia. Sejalan dengan itu, SS membangun pula laman untuk radio live streaming agar bisa menjangkau pendengar di luar Surabaya.

Mengulas salah satu kunci suksesnya itu, Errol menyebut bahwa dalam jurnalisme radio yang penting adalah, "Ngomong keras bukan dengan bunyinya tetapi substansinya." Dan, itulah yang ia sebut jurnalisme keroncong, irama lagu yang tak menghentak itu.

Luangkan waktu untuk mempertimbangkan poin-poin di atas. Apa yang Anda pelajari dapat membantu Anda mengatasi keraguan Anda untuk mengambil tindakan.

Leave a reply

Copyright © 2009 binatang langka.
Designed by Theme Junkie. Converted by Wordpress To Blogger for WP Blogger Themes. Sponsored by iBlogtoBlog.