Artikel berikut berisi informasi terkait yang mungkin menyebabkan Anda untuk mempertimbangkan kembali apa yang Anda pikir Anda mengerti. Yang paling penting adalah untuk belajar dengan pikiran terbuka dan bersedia untuk merevisi pemahaman Anda jika perlu.
Potensi ekonomi mikro sangat besar.Menurut Budi Rohadi, dalam konferensi keuangan internasional belum lamaini, banyak yang menyatakan ingin masuk ke bisnis keuangan mikroIndonesia. Mengutip Bank Dunia, Budi Rohadi menyebut baru 50 persenorang Indonesia dewasa yang mengenal lembaga perkreditan. Meskipotensinya besar, menurut Dewan Pembina Yayasan Agribisnis dan RektorUniversitas Proklamasi 45 Yogyakarta Prof M Dawam Rahardjo, pemerintahtak menaruh perhatian pada LKM. Koperasi, misalnya, tidak pernahberkembang seperti cita-cita Bung Hatta, yaitu memberdayakan masyarakatmiskin dan menguatkan ekonomi kerakyatan. Dawam menyebut, ekonomikerakyatan adalah ekonomi mandiri dan terlepas dari ketergantungan,baik di bidang keuangan, teknologi maupun perdagangan. LKM adalahinstitusi yang seharusnya berperan menciptakan kemandirian di bidangkeuangan. Dia mencontohkan Koperasi Setya Bhakti Wanita diSurabaya yang berdiri Mei 1978, berawal dari emperan jalan dan kinimemiliki gedung megah empat lantai. Tetapi, peran LKM seperti ini takpernah diperhitungkan serius oleh pemerintah, kata Dawam. Dawammenepis citra koperasi sebagai lembaga keuangan yang sulit berkembang.Dia menyebut data organisasi gerakan koperasi sedunia, InternationalCooperative Alliance (ICA). Sebanyak 300 koperasi kelas dunia dalamGlobal 300 List ICA beromzet 600 juta-63 miliar dollar AS per tahun.Bahkan, di negara kapitalis penganut ekonomi liberal seperti AmerikaSerikat, koperasi didorong tumbuh dan 63 koperasi di antaranya masukdaftar ICA, sementara Perancis menyumbang 55 koperasi. Tak satu punkoperasi Indonesia masuk kriteria kelas dunia. Perubahan Upayapemerintah mengembangkan usaha mikro, menurut Wakil Ketua AsosiasiPengusaha Indonesia Nina Tursinah, belum holistik. Pengusaha mikro masihkesulitan meminjam dana dari perbankan karena persyaratan surat izinusaha yang mewajibkan akta perusahaan, izin domisili, dan NPWP. MenurutNina yang mengurusi UMKM, seharusnya persyaratan untuk usaha mikro cukupizin domisili. NPWP pun diperlakukan sesuai kapasitas usahanya. AnggotaKomisi XI DPR, Sadar Subagyo, berpendapat, pemerintah harus mengubahpendekatan kebijakan perekonomiannya. Pasalnya, sejak tahun 2000investasi di sektor tradable, yaitu sektor riil seperti pertanian,manufaktur, dan industri pengolahan, terus turun dibanding sektornontradable seperti jasa, telekomunikasi, dan konstruksi. Padahal,sektor tradable adalah penyerap tenaga kerja terbesar. Penyebabnyakarena memproduksi barang membutuhkan perizinan, kredit kerja,infrastruktur dan transportasi, serta sistem logistik yang baik. Kitatidak kompetitif dalam semua syarat berusaha itu, tandas Sadar. Haltersebut ikut memengaruhi pertumbuhan sektor UMKM karena mereka jugaberhubungan dengan perizinan, bunga bank, hingga transportasi dan sistemlogistik nasional. Di sisi lain, data statistik memberi harapan karenajumlah kredit mikro menurun, tetapi pada saat bersamaan kredit kecilmeningkat dari tahun 2008 ke 2010. Sayangnya,sebagian besar kredit tersebut berupa kredit konsumsi (64 persen),sementara kredit modal kerja yang produktif hanya 32 persen. Data inipun menurut Sadar belum tentu akurat. Data BPS dan Bank Indonesia tidakbisa diperbandingkan karena menggunakan ukuran berbeda. Meskidemikian, sebagian besar usaha mikro bergerak dalam perdagangan yangkurang menyerap tenaga kerja. Kalau memproduksi, kalah bersaing denganChina dan India. Bunga pinjaman mereka 5 persen, sementara kita di atas18 persen. Belum lagi lokasi bahan baku berjauhan sehingga mahal.Infrastruktur yang jelek juga bikin transportasi mahal, kata Nina. Kalausudah begini, giliran pemerintah dan DPR melicinkan jalan bagi usahamikro berkembang menjadi usaha kecil dengan membuat kebijakan yangholistik dan terpadu. Bukan saling menyalahkan, apalagi hanya mengeluhkarena pengusaha kecil tak pernah mengeluh. (Ninuk M Pambudy/ Maria Hartiningsih/ Suhartono)